Sabtu, 08 Oktober 2011

EMBUN DI MATAKU


“Hati-hati ya mba”, tutur Ulum adik angkatanku sambil merangkul tubuhku.
“Iya, kamu juga hati-hati, tolong bilang sama teman-temanmu yang lain, mba minta maaf tidak pamit dulu sama kalian. Insya Allah dua minggu lagi mbakyu pulang ke sini” ucapku sambil menyalaminya.
Udara pagi terasa menusuk tulang, kesegarannya menyeruak masuk kedalam jiwaku hanya saja semua itu tidak bisa membuatku tenang. Ku teringat dengan simbah dan adik di Pemalang. Ku coba mengingat Sang Pencipta dalam dzikir dan doa untuk menenangkan hati, sambil menungu bus menuju Pemalang, kota kelahiran yang selalu ada direlung hati yang terdalam. Terkenang masa lampauku ketika berangkat ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu, aku rela meninggalkan sahabatku, keluargaku, terutama mak dan bapak. Ku termenung.
Anganku melayang
Menyusuri jalanan masa silam
Ku di tengah  kehangatan canda tawa
Di bawah naungan kasih sayang
Kini ku harus lalui jurang terjal tak bertepi
Serpihan Kristal dan duri kehidupan yang slalu menanti
Demi sebuah cita
Senyum manis bunda tercinta

"Pemalang………!"  "Pemalang………!"
Teriakan seorang kernet bus membuyarkanku dari lautan masa lalu. Ku langkahkan kaki menuju bus dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Penumpang bus memang tidak begitu padat, mungkin karena hari masih pagi. Kubuka mushaf dan mulai membacanya, kini ku tengah terhanyut dalam indahnya kalam Ilaahi. Kubaca satu persatu sambil menghayatinya, hatiku sudah mulai tenang setelah tiga malam sebelumnya aku bermimpi nenek dan adik kecelakaan, dan membuatku gelisah dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswi, kakak, tentor, sekaligus tulang punggung bagi keluargaku, yang hanya adik dan nenek. Kakek yang tak pernah ku ketahui wajahnya.Ayah  tengah bertemu Sang Pencipta ketika aku masih sekolah dasar, dan ibu menyusul tiga tahun kemudian.
Sejak itulah  aku dan adik  yang masih sekolah dasar menjadi yatim piatu dan hidup bersama nenek. Aku dan adik mulai belajar bekerja, dari jual sayur hasil kebun nenek hingga membantu nenek di kebun. Kuterbiasa hidup dengan diselimuti kabut dan itu membuatku menjadi orang yang berwatak baja.
Pemalang……! Pemalang…!
Kuterbangun dan kaget oleh suara kernet, ternyata kalam Ilaahi telah membuatku tertidur pulas. Kusegera bergegas turun dari bus dan menaiki angkot. Sampai di rumah sepi sekali. Perlahan kuketuk pintu, tak ada jawaban, kucoba membukanya ternyata tidak dikunci.
Uhuk….uhuk…uhuk….
Suara batuk simbah mulai terdengar setelah kumembuka pintu yang tidak terkunci. Kuberlari bergegas menuju kamar simbah. Di sana ada adikku Farid yang menyuapi simbah.
“Assalamu’alaikum……”  sapaku sambil menahan tangis.
“Wa’alaikumussalam…..”, jawab adikku yang meraih tanganku dan merangkulku. Air mata pun pecah dan tak terbendung lagi. Butiran air mata sebagai wujud rasa rindu, karena sudah dua tahun tak bertemu, sedang air mataku tumpah karena sedih memandang adik yang kurus dan nenek yang sangat pucat.
“Dik, primen kabare?”, tanyaku.
“Alhamdulillah mbak yu, mbak balik ko ra ngomong-ngomong sih, yen ngomong kan aku bisa siap-siap bersihna kamar nggo sare mbak yu” jawab adikku sambil mengusap butiran embun dari kelopak matanya.
“Iya, mba kangen ngomah, kelingan adik karo simbah putri”.
Kulangkahkan kaki dan duduk di samping simbah sambil menggantikan adik menyuapi simbah. Tubuhnya tidak sesegar delapan tahun  yang lalu, rambutnya berubah menjadi tipis dan ubannya memenuhi kepala, butiran embun mengalir di pipi yang sudah keriput termakan usia.
Uhuk…..uhuk……
“May, koe kok balik, ora apa-apa yen ninggalna kuliah karo kerjamu?” Tanya simbah sambik berbatuk-batuk.
“Sudahlah mbah, jangan memikirkan itu, aku kangen dengan rumah apa simbah tidak suka melihat aku pulang?”
“Bukan begitu, simbah hanya sungkan simbah tidak mau mengganggu kuliah dan kerjamu nduk”. Ungkap simbah dengan bahasa Pemalang.
“Mbah, jangan terlalu memikirkan May, semuanya baik-baik saja kok. Warung makan May Alhamdulillah dibanjiri pembeli malah sudah menambah dua karyawan, kuliah May juga baik-baik saja. Sekarang, yang terpenting kesehatan simbah. Besok pagi ke dokter ya mbah, sekarang simbah istirahat.
Kubereskan piring bekas makan simbah. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Di sana adikku Farid sedang merebus air. Adik tidak menyadari kehadiranku, kutatap Farid lekat-lekat. Wajahnya tak seperti dulu lagi, aku merasa ada yang ganjil dengan adik. Kutepis pikiran aneh yang merasuk ke dalam jiwaku. Beribu pertanyaan memenuhi kepalaku, benar atau tidak, kucoba yakinkan diri kalau adik baik-baik saja. Karna tidak berhati-hati, piring yang kubawa jatuh.
"Prang…..!" adik terkejut dan menatapku heran.
“Astaghfirullah….., mbakyu hati-hati”.
Kutersenyum dan menatapnya.
“Dik, mba mau ngomong sama kamu, tapi sebelumnya mba minta maaf”, kataku dengan hati-hati.
“Iya mbak, ada apa to?”
“Begini……..”
Belum sempat kata-kata itu diteruskan, adik meninggalkanku dengan setengah berlari meuju kamar simbah, aku mengikutinya. Suara smbah yang memanggil aku dan adik, terdengar sayup-sayup di sela-sela batuknya yang  tak kunjung sembuh.
“Rid….May….sini nduk tutur simbah dengan nafas terengah-engah.
“Iya mbah, ini Farid dan di samping Farid ada mbak yu”, sahut Farid yang sudah duduk di samping simbah berbaring.
“Nak, simbah minta maaf ya, atas semua salah dan khilaf yang simbah perbuat. Simbah selalu merepotkan kalian. Simbah hanya bisa menjadi beban, simbah minta maaf”.
“Mbah, kami tidak merasa direpotkan, bahkan tak pernah terlintas di pikiran kami kalau simbah itu beban bagi kami. Simbah adalah orang tua kami”, ucap Farid sambil menyeka air mata.
“Iya mbah, benar apa yang dikatakan dik Farid, kami juga minta maaf atas semua salah kami”, tambahku.
“Setelah ini simbah tidak akan merepotkan kalian, simbah minta maaf” tutur simbah di tengah isak kami.
Kata-kata simbah bagaikan angin yang menghembuskan awan dan menjadikannya hujan. Butiran bening tak terbendung lagi membentuk hulu sungai di pipi.
“Simbah minum jamu dulu ya, ini sudah Farid buatkan jamu”, kata adik.
Tak ada sahutan simbah, hanya diam dan membisu. Kubaringkan tubuh simbah setengah duduk tetapi tak ada sambutan juga, hatiku mulai ragu. Kuraih tangan yang sudah keriput sambil memanggil namanya, nadinya sudah tak berdetak lagi, dadaku sesak kuyakinkan diri kalau aku bisa kuat. Kuseka butiran embun yang berebut keluar. Kucoba tersenyum walau hatiku perih. Kususun kata-kata untuk menyampaikannya pada adik yang menatapku penuh khawatir.
“Mbakyu, simbah kenapa? Simbah ndak pa pa to, simbah baik-baik aja kan mbak yu?”, Tanya adik dengan berlinang air mata.
“Dik, setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, itu adalah hukum Allah, tak ada yang bisa menyangkal. Begitu juga dengan kita, kita bertemu dengan simbah, hidup bersama pada saatnya semua akan berpisah dan sekarang Allah telah memanggil simbah. Allah lah yang Maha Kuasa kita hanya makhluk Allah”, ucapku dengan senyum menahan tangis. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un.

Dua minggu setelah meninggalnya simbah, ku ajak adik ke Widuri. Di sana adik mulai mau banyak bicara setelah dua minggu ini adik banyak diam. Aku maklumi sikap adik  yang begitu, adik merasa sangat terpukul kehilangan simbah, begitu juga aku hanya saja, adik lebih dekat dengan simbah karena aku yang harus merantau ke Yogyakarta untuk kuliah dan bekerja. Ku akui aku dan adik hanyalah manusia biasa yang tak bisa terus-menerus tegar dan sabar.
“Mbak, mbakyu pen mangkat aring Jogja kapan?”
Patang dina maning dek, kowe ora pa-pa kan tak tinggal?”
Dia menatap lautan sambil mengangguk pelan. Ku tatap lekat-lekat wajahnya yang dewasa lebih awal karena kehidupan yang dilaluinya, kini ku teringat percakapan yang terputus. Percakapan yang terjadi sebelum simbah meninggal.
“Dik, mbak yu mau tanya jawab dengan jujur ya dik”, kataku hati-hati.
Ngopo to mbak yu?’
“Sebelumnya mbakyu minta maaf, sejak mbakyu pulang dan melihatmu mbak yu merasa ada yang mengganjal. Mbak yu sudah coba untuk yakinkan diri kalau kamu baik-baik saja, tapi tidak membuahkan hasil sama sekali.”
“Memangnya ada apa mbak yu? katakan saja”
“Dik, apa benar kamu sudah mengenal nikotin?”, tanyaku ragu.
Adik tidak menjawab perkataanku, dia masih menatap lautan, ku tunggu jawaban dari adik, tapi yang ada hanya kebisuan. Adik masih terdiam, ku pandang lekat-lekat wajahnya, hatiku berontak ingin tahu sepatah kata yang keluar dari bibirnya. Sebuah jawaban.
“Dik, mbakyu sangat membenci kebohongan”, suaraku memecah keheningan diantaraaku dan adik.
“Maafkan Farid mbak yu, Farid sudah mengecewakan mbak yu, adik tidak bisa menjadi adik yang mbak yu harapkan” jawabnya sambil menunduk.
Seketika dadaku sesak, butiran bening itu membasahi pipiku. Ku tak mampu berkata, ku merasa menjadi kakak yang paling buruk di dunia, bahkan lebih buruk dari itu, aku tak bisa menjaganya. Pesan mama semasa  masih hidup terngiang di kepala bahwa ku harus menjaga adik dalam keadaan bagaimanapun juga. Kini aku telah  gagal menjadi panutan bagi adikku.
Tetes air mata kecewa
Tengah menganak sungai
Saat ku tau
Kau telah masuk dalam perangkap
Perangkap yang membuatku tak mengenalimu
Kau begitu jauh
Bahkan tak terjangkau bagai langit dan bumi
Sesal selalu menghantuiku
Hatiku remuk
Harapanku tandas
Bagai tanah terbawa air
Aku bukanlah panutanmu
Aku tak bisa menjagamu
Hingga kau kini terpelosok
Tetes air mata
Kini berubah menjadi haru
Kau telah bersimpuh
Memohon ampun
Kepada yang  Maha Luas
Suara gemericik selalu ada di tengah malam mu
Tuk temui Sang Permadani

                                                                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar